Kali ini aku akan mengawali kata dengan sebuah rasa. Terwakili oleh salah satu hati manusia. Sepertinya telah lama tidak terluapkan. Bukan hanya karena tidak bersuara. Akan tetapi juga karena tidak seirama dengan visi kehidupan yang telah tertata, dulunya. Aku memang hanya benda mati yang tak bernyawa. Namun aku mempunyai hak hidup selamanya. Meskipun penciptaku tak lagi ada. Aku juga memiliki hakikat tentang bagaimana aku bisa dimanfaatkan sebaik mungkin oleh banyak manusia. Bukan hanya di pandang oleh sudut mata saja. Apalagi hanya terpajang di sudut rak perpustakaan.
Jika begitu, untuk apa aku dihidupkan, duhai pencipta? Tidak berguna oleh manusia!
Ah, sudahlah. Aku kembalikan lagi kepada jiwa-jiwa manusia. Sampai pada titik mana kontribusi pencipta mempertahankan aku sebagai buah yang lahir dari rahimnya. Yang terkadang ia hanya melahirkan ku tapi tidak mengasah dan mengasuhku. Sedikit memang, tapi begitu sakit bagi pencipta lainnya yang lelah berjuang hanya lillah. Susah payah bersuara tanpa upah. Hingga akhirnya harga aku lebih terlihat sampah dari pada rupiah.
***
Begitulah kira-kira ratapan karya yang lahir dari rahim penciptanya. Namun tak berharga di mata kawan-kawannya. Padahal Allah sedang mengalirkan pahala jariyah kepada penciptanya. Oleh karenanya, ada jiwa yang terpanggil oleh-Nya. Melaksanakan tugas kemanusiaan. Bergerak dengan jiwa yang bagak. Dari kelompok kecil hingga bersatu menjadi kelompok besar. Menggaungkan kalimat ‘literasi’ dimana-mana. Dari desa terpencil hingga di bawa ke kota yang bersahaja. Tidak langsung memperkenalkan karya, tapi memulai dari ‘alif ba ta’. Sebagaimana perintah pertama yang turun ke bumi-Nya ‘iqro’ , bacalah.
Begitu seterusnya, berlangsung tanpa kata mutakhir. Karena jalan ini tidak mudah, selalu dipandang rendah. Begitu kriuknya dunia kemasyarakatan hari ini yang memiliki hak bebas untuk berbicara dan memilih langkah dirinya. Namun apa daya, jiwa mereka yang bagak terbangkitkan olehnya. Karena kemuliaan hati yang terjaga dan dipertahankan. Tetap bergerak meskipun badai sedang mengamuk besar. Hal yang dilakukan hanyalah focus pada tujuan. Mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Melakukan pergerakan yang akan dilihat oleh massa dengan terus memburu api semangat yang masih membara. Sehingga mereka yang sinis di hari kemarin. Akan datang dengan manis di hari depan. Karena jawaban telah ditemukan. Pada fase perjalanan kehidupan yang telah memberi pelajaran. Bahwa kita hidup untuk memberikan banyak kebaikan dan kebermanfaatan. Bukan kebanggaan atas tahta yang bergelumuran.
Sikap manusia dengan berbagai cerita. Menghiasi hidup dengan sketsa yang wah. Kita sebagai insan penumpang hanya ingin menjadi ‘khairunnas ‘anfauhum linnas’. Tidak lebih dari pada itu. Tidak untuk mengumpulkan pundi-pundi emas. Tapi hati yang berkelas pada jiwa yang berkualitas. Tunduk dan patuh pada ketetapan Tuhan. Bahwa sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Dan inilah langkah kemudahan yang sedang dilakukan oleh jiiwa-jiwa yang bagak itu. Menerobos peluang yang ada tanpa batasan. Menjajaki daerah demi daerah yang berkejauhan. Bahkan ujian demi ujian tetap diluluskan dengan kepandaian yang ada. Belum lagi berkutat dengan masyarakat yang memiliki suara merakyat untuk menjatuhkan harga semangat. Mereka yang satu kandang menjadi kekangan langkah. Ibarat sedang berayun di jembatan yang berada di atas jurang yang terjal, tapi mengasikkan. Tanpa mempedulikan tingginya jangkauan kaki ke pelosok jurang. Meskipun kegamangan-kegamangan hadir dikala estafet masih jauh dari kata ’finish’. Setidaknya, hati masih terpatri pada roda kemanusiaan yang sedang berjuang menjunjung tinggi literasi. Dari nagari hingga negeri. Sebutlah ia patriot literasi, bergiat menembus manfaat melalui jiwa-jiwa yang bagak dalam berpatriot untuk negeri.
Sumber : https://dap.sumbarprov.go.id/